Wednesday, December 29, 2010

0 comments

Pernikahan dan Pelacuran

 
 

Hati saya benar-benar hancur melihat kenyataan bahwa Siti Nurhaliza akhirnya menikah dengan Datuk K. Dalam hati saya berkata, teganya Siti menjual dirinya kepada lelaki kaya hidung belang.

 
 

Pernikahan tsb membuktikan kebenaran sinyalemen saya beberapa waktu lalu, bahwa wanita, sekaya apa pun dia, akan tetap memilih lelaki yang lebih kaya darinya sebagai suami. Dalam kasus ini, kurang apa lagi "mbak" Siti, dari segi materi? Kenapa dia lebih suka memilih lelaki, yang konon, sebetulnya adalah suami orang?

 
 

Seperti banyak dirumorkan media Malaysia dan media jirannya, bahwa CT (Siti) lebih suka nemplok di pelukan suami orang, daripada di pelukan lelaki yang masih membujang. Karena kehadiran Siti di hati sang Datuk lah, maka istri Datuk memilih cerai daripada dimadu.

 
 

Kalau cuma suka pada lelaki beristri, kenapa sih, bukan memilih saya atau anda saja? Ah, tentu saja kehadiran saya tidak akan ada artinya bagi berlangsungnya jaminan sosial sang diva. Financial security, itulah alasan kebanyakan wanita menikah. Sedangkan lelaki lebih suka menikah karena bakat bawaan instink primitifnya yaitu, tertarik "barang" bagus.

 
 

Lelaki berduit mana yang tak menginginkan wanita yang mirip boneka barbie itu? Jangankan lelaki berduit, lelaki yang tak berduit pun pasti berkhayal, malu-malu atau tidak malu-malu, untuk menikah dengan penyanyi bersuara emas itu. Apalagi karakternya yang anggun dalam penampilan, sopan dalam bertutur kata, dan tidak suka pamer aurat itu, pasti menambah hasrat setiap pria untuk mendapatkan sorga dunia.

 
 

Walaupun saya tidak suka mendengar musik, tapi sepintas saya dapat menilai bahwa si Siti Nurjazila ini mempunyai bakat besar dalam menyanyi (betul apa tak betul?). Dan yang saya kagumi juga, dia tak pernah berpakaian ala barat di setiap kali penampilannya. Dia tidak terpengaruh untuk ikut-ikutan menggunakan pakaian yang seksi, minim atau ketat.

 
 

Berbeda jauh dengan para penyanyi wanita kita, yang lebih suka memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya dengan berpakaian ketat atau minim, dalam rangka mendongkrak pendapatan belanja rumah tangga. Malah bukan rahasia lagi kalau para penyanyi wanita yang sudah beristri pun, rela meninggalkan suami dan anaknya berhari-hari karena dibooking "manggung" oleh organisasi ini, organisasi itu.

 
 

Di sini terlihat dengan jelas, bahwa berdasarkan salah satu fenomena tsb, sebetulnya batas antara penyanyi wanita (artis) dan pelacur sangatlah tipis. Boleh dibilang tak ada batasnya, sebab keduanya sama-sama menjajakan sex appeal yang mereka miliki, baik melalui suara atau tubuh mereka.

 
 

Dengan sex appeal (daya tarik seksual) yang menjadi andalan mereka berbisnis inilah, yang kemudian mendasari mereka untuk memasang harga, baik ketika show yang sebenarnya, atau show yang pakai tanda kutip, "show". Lebih jauh lagi, dalam segala aspek, harga tinggi tersebut kemudian berdampak pada tingginya gengsi, sehingga segala sesuatunya, disebut pantas atau tidak pantas, dengan nominal uang.

 
 

Contohnya dalam perkawinan yang dialami banyak kaum selebritis, tak ada satu pun yang rela menikah dengan orang miskin, atau katakanlah, dengan orang yang standar ekonomi menengah. Dan penyakit masyarakat tersebut ternyata juga bukan menjangkiti para selebritis yang sering nongol di TV, orang-orang kampung yang tidak pernah masuk berita pun, mematok harga tinggi bagi anak gadisnya. Apalagi kalau sang anak bertampang cantik atau mirip-mirip artis, maka harga jualnya pun tentu lebih tinggi lagi.

 
 

Anda boleh saja protes, tapi hal ini benar adanya. Banyak orangtua yang bertingkah seperti germo atau bromocorah yang memasang tarif tinggi bagi siapa yang hendak meminang anak gadisnya. Terkadang sang anak gadis pun merasa dirinya cantik dan memang merasa pantas dihargai dengan harga tinggi.     

 
 

Jadilah di sini batas pelacuran dan pernikahan jadi kabur. Dalam kedua event tsb, sang lelaki sebagai konsumen, sama-sama harus mempunyai budjet yang banyak untuk mendapatkan seorang wanita. (Berdasarkan kenyataan ini, barangkali nanti, para "ulama" jaringan islamliberal akan mengeluarkan fatwa bahwa melacur itu halal karena, sama-sama mengeluarkan uang, seperti laiknya pernikahan).

 
 

Kalau jiwa pelacur dan germo sudah menguasai, maka segalanya harus serba wah, termasuk memilih calon suami, seperti yang menimpa Siti Nurhalija. Sopan santun dalam bertutur kata, elok dalam berpakaian, hanyalah kamuflase untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dari lelaki hidung belang. Pengetahuan agamanya hanya dijadikan umpan untuk menjaring konsumen yang lebih banyak.

 
 

Menyinggung tipisnya batas pernikahan dan pelacuran, berarti menyinggung sebuah kosa kata lain, yaitu kebaikan yang diwakili polisi,lawan kejahatan yang diwakili penjahat. Batas antara kebaikan dan kejahatan hanyalah sebuah benang yang transparan.

 
 

Seorang polisi dan seorang penjahat sama saja statusnya, sama-sama merugikan masyarakat. Penjahat merugikan orang lain tanpa menggunakan institusi resmi, sedangkan polisi, pejabat pemerintah, anggota DPR/DPRD, hakekatnya adalah penjahat juga, sebab mereka suka memakan uang rakyat dengan menjual hukum. 

 
 

Bahkan ketika seorang terpidana harus masuk penjara untuk bertobat, segala infra strukturnya tidak mendukung sama sekali untuk bertobat. Seorang terpidana, yang seharusnya segala nafsu kriminalnya dibelenggu oleh aparat, masih bisa melakukan segala bentuk criminal, baik sebagai bandar narkoba, atau yang kecil-kecilan, jualan rokok.

 
 

Lebih edan lagi, dosa dan kejahatan itu juga menjadi kewajiban bagi penjaga penjara, karena mereka mewajibkan para pengunjung membayar sekian rupiah untuk sekali bezuk. Jadi sebetulnya semua mata rantai dalam penjara itu, baik polisi, hakim, yang terpidana, sipirnya, ketua lapasnya, dan pengunjungnya sama-sama tukang criminal.

 
 

Jadi seseorang masuk penjara bukanlah sebuah jaminan akan terbebas dari menebus sebuah dosa, sebab dosa yang lain sedang menanti.  

 
 

Well, bagaimana pun juga kehidupan terus berjalan. Pelacuran dan perkawinan tak akan pupus dari dunia, selama para wanita cantik dan tidak cantik masih merasa sebagai barang yang mahal. Polisi, pejabat, anggota dewan dan penjahat tetap saja masih satu derajat, selama mereka tidak menyadari betapa berharganya secuil nasi tetangga yang tercecer di atas meja.

 
 

Kembali ke soal perkawinan Siti Nurhaliza vs |Datuk K. Sebagai seorang muslim yang baik, mustinya Datuk K tidak hanya sekedar melegitimasi perkawinan untuk melampiaskan nafsunya. Sebagai anggota dari umatan wasatan, mustinya Datuk K, dan juga kita, dalam hal perkawinan mempunyai sebuah misi, baik itu misi sosial, ekonomi maupun pendidikan.

 
 

Bukan hanya sharing, maaf, alat kelamin, dengan bayaran yang mahal, tapi juga musti sharing harta-benda dan intelektual. Dengan kata lain, mustinya seorang yang kaya menikah dengan seorang yang miskin. Orang pandai menikah dengan orang yang kurang pandai. Seorang ahli agama mustinya kawin dengan seorang yang buta agama. Dengan demikian terjadi sharing ekonomi, sosial dan intelektual.

 
 

Kalau seorang kaya kawin dengan orang kaya, orang miskin musti kawin dengan orang miskin, ustadz kawin dengan ustadzah, menurut saya mereka bukan termasuk orang-orang yang beruntung, dan tidak mengerti makna visi dan misi beragama.

 
 

Dalam hal ini saya salut dengan orang-orang Singapura yang mau menikahi para janda miskin dari bangsa Indonesia. Padahal para janda itu rata-rata bertampang jauh memprihatinkan dari Siti Nurhaliza (dan tak bisa menyanyi). Dan dari segi ekonominya pun tergolong pas-pasan, karena mereka kebanyakan tadinya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, baby sitter, tukang masak, dll.

 
 

Kalau seorang Siti Nurhaliza dan yang senasib dengannya masih juga mencari lelaki yang lebih kaya, menurut saya, mereka tak ada beda dengan pelacur. Walau mereka nampak terhormat, tapi mental mereka mental pelacur. Begitu juga Datuk Khalid, walaupun kedudukannya terpuji di mata Malaysia, tapi mentalnya tetap mental hidung belang.

 
 

Sebagai Penutup, walaupun saya kurang setuju dengan keputusan yang diambil oleh "dik" Siti dan datuknya, saya tetap berlaku sportif. Saya ucapkan semoga pasangan Datuk K dan Siti boleh berkekalan selama-lamanya Siti mampu bertahan. Dan sebagai seorang lelaki, saya selalu berkeyakinan bahwa, kesempatan kedua itu selalu ada, jadi… saya menunggu jandanya sajalah!

wassalam

0 comments:

Post a Comment