Wednesday, May 23, 2012

Fenomena Gaya Bahasa Eufemisme dalam Al-Qur'an

0 comments
Gaya bahasa eufemisme termasuk kedalam gaya bahasa perbandingan, ia juga disebut ungkapan pelembut.
Kata eufemisme berasal dari kata Yunani euphemizein yang berarti ‘mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik’ (Keraf, 1981:117). Sebab itu eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
            Dalam tradisi kajian sastra Arab, istilah eufemisme semakna dengan bahasa kinajah.
            al-Mubarrad (w. 258 H.) seorang sarjana bahasa yang melakukan sistematisasi mengenai konsep kinayah. Dalam karyanya “al-Kamil”, al-Mubarrad menguraikan tiga model kinayah beserta fungsinya; pertama,  bahasa kinayah  berfungsi menjadikan sesuatu lebih umum, kedua,  bahasa kinayah,  dapat memperindah ungkapan, dan ketiga,  bahasa kinayah, merupakan bahasa yang bersifat pujia. Namun al-Mubarrad tidak banyak mengulas pada model pertama dan ketiga, ia lebih menitikberatkan pada model kedua, yaitu kinayah sebagai penyempurnaan keindahan ungkapan, khususnya yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an.
            Dalam surat al-Nisa’, ketika al-Qur’an menjelaskan hubungan suami istri, atau seorang wanita yang melakukan zina ditemukan beberapa ungkapan yang menggunakan gaya bahasa eufemisme. Gaya bahasa tersebut ditemukan sebanyak 9 kali, yaitu: pertama, kata “al-Fahisyah” (keji) pada ayat 15, 19, dan 25. Menurut jumhur mufassirin yang dimaksud dengan ‘al-Fahisyah” pada ayat tersebut adalah perbuatan zina (al-razi, 1994: 102 & 118), sementara menurut pendapat lain, “al-Fahisyah” adalah segala perbuatan mesum, seperti zina, homoseks, dan sejenisnya. Kedua, frase “asyiruhunna”, (bergaulah dengan mereka) pada ayat 19, salah satu penggantinya adalah berhubungan suami istri (al-Thabari, 1995: 122). Ketiga, frase “dakholtum” (kalian mencampuri)
Pada ayat 23, menurut para mufassir, seperti al-Baghawi, al-Razi, Abu Sa’ud, al-Khazin, dan al-Thabari adalah hubungan suami istri (al-Alusi, 1994: 5). Keempat, frase “istamta’tum” (kalian ni’mati) yang dimaksud pada ayat 24 adalah hubungan suami istri. Demikian pendapat para mufassir, misalnya al-Razi, al-Khazin, dan al-Thabari (1995: 175-179). Kelima,  kalusa “wahjurumunna fi almadhaji’i” (dan pisahkanlah mereka ditempat tidur) yang dimaksud pada ayat 34, menurut Ali al-Shabuni, al-Alusi, Abu Sa’ud dan Ibn Katsir (1992: 233)adalah hubungan suami istri. Keenam, frase “lamastum” (kalian menyentuh), menurut Ibn Katsir (1992: 314) pada ayat tersebut yang dimaksud adalah berhubungan suami istri. Ketujuh, kata nusyuz, sebagaimana pada ayat 128 yang dimaksud adalah meninggalkan kewajiban bersuami istri (tarku mudhaja’atiha) (al-Baghawi, tt: 294). Nusyuz dari pihak istri, misalnya, meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, sedangkan nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggaulinya, dan tidak mau memberikan haknya.
            Memperhatikan konteks masyarakat Arab pra-Islam, kemudian diakaitkan dengan teori sosiologi bahasa, seperti yang disampaikan Fromkin, Bernstien mampun Edward sapir menunjukan bahwa prefersi kata, frase atau klausa dalam al-Qur’an benar benar menjadi pertimbangan, sehingga bahasa itu menjadi komunikatif. Konteks Arabia yang secara geografis tidak bersahabat, demikian pula gaya hidup nomad tanaqqul) yang harus dijalani, pada akhirnya berpengaruh pada karakter penduduk Arab, yaitu menaruh rasa cinta kepada wanita lain, bahkan menyukai hidup poligami. Karena itu, ketika al-Qur’an membicarakan tentang hubungan suami istri selalum mengunakan gaya bahasa eufemisme, sebab, secara psikologis apabila bahasa tersebut disajikan dalam bentuk bahasa yang sebenarnya, maka sangat dikhawatirkan akan memancing munculnya nafsu binatang (al-syahwah al-hayawaniyah). Selain karena faktor etika, yaitu al-Qur’an sebagai wahyu dan kitab yang berisi petunjuk (hudan yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya, Muhammad SAW, juga kaerna konteks sosial-budaya masyarakat Arab yang masih primitif dan nomaden.

0 comments:

Post a Comment